FOKUS BANJAR - Pemerintah saat ini tengah melakukan terobosan
pembangunan demi mewujudkan energi
berkeadilan di Indonesia. Salah satunya adalah penghematan subsidi energi
yang dilakukan agar dana APBN
dimanfaatkan untuk pemerataan dan pembangunan infrastruktur,
termasuk infrastruktur listrik. Penghematan subsidi energi antara lain dengan
pengalihan subsidi listrik tepat sasaran. Kebijakan ini dilakukan bukan tanpa
alasan, melihat pada tahun 2015, subsidi listrik paling besar dinikmati oleh
pelanggan rumah tangga 450 VA dan 900 VA yang mencapai Rp. 49,32 Triliun (87%).
Namun demikian, pada dua golongan pelanggan ini masih terdapat rumah tangga
yang tidak layak disubsidi.
Merujuk Data Terpadu Penanganan Program Fakir Miskin
yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial dan dikelola oleh Tim Nasional
Pecepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), pola subsidi yang ada belum tepat
sasaran. Dari total 23 juta pelanggan rumah tangga daya 900 VA, hanya 4.058.186
rumah tangga yang layak diberikan subsidi. Sedangkan sesuai Undang-Undang Nomor
30 tahun 2007 tentang Energi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan mengamanatkan penyediaan dana subsidi hanya untuk kelompok
masyarakat tidak mampu.
Selain belum tepat sasaran, pola subsidi listrik bagi
pelanggan mampu juga tidak memenuhi prinsip keadilan, karena masih banyak
saudara-saudara kita yang belum sepenuhnya menikmati listrik, bahkan belum
terlistriki sama sekali. Untuk itu perlu dilakukan pengalihan subsidi listrik untuk
melaksanakan program pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, dan
infrastruktur. “Arah subsidi energi dalam APBN harus turun, untuk pembangunan
yang lebih adil dan merata,” ungkap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), Ignasius Jonan.
Dalam rangka meringankan beban ekonomi masyarakat maka
penyesuaian tarif tenaga listrik terhadap rumah tangga mampu daya 900 VA
dilaksanakan setiap 2 bulan dan dilakukan bertahap sebanyak 3 kali mulai 1 Januari,
1 Maret, dan 1 Mei. Selanjutnya pada bulan Juli dikenakan tarif adjustment seperti
pelanggan lainnya yang sudah mencapai tarif keekonomian dan tidak menerima
subsidi listrik. Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik juga diharapkan dapat
mendorong masyarakat agar lebih hemat listrik, sehingga dapat menurunkan beban
puncak penyediaan tenaga listrik.
“Penyediaan listrik harus efisien agar subsidi listrik
tidak membebani APBN dan masyarakat mendapatkan tarif listrik yang lebih baik,”
jelas Menteri Jonan. Untuk mendorong hal tersebut, Menteri ESDM menandatangani
Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan (EBT)
Untuk Penyediaan Tenaga Listrik guna mewujudkan harga listrik EBT yang
kompetitif dan ekonomis bagi masyarakat.
Permen tersebut mengatur harga pembelian maksimum tenaga
listrik oleh PT PLN (Persero) yang dihasilkan dari energi terbarukan yaitu
tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi. Harga
pembelian tenaga listrik ditetapkan maksimal 85% dari Biaya Pokok Penyediaan
(BPP) Pembangkitan setempat, jika BPP Pembangkitan setempat lebih dari
rata-rata BPP Pembangkitan Nasional. Harga pembelian 100% dari BPP Pembangkitan
setempat, jika BPP Pembangkitan setempat kurang dari atau sama dengan rata-rata
BPP Pembangkitan Nasional. Pengaturan tarif berlaku untuk Pembangkit Listrik
Tenaga (PLT) Surya, PLT Bayu, PLT Air, PLT Biomassa, PLT Biogas.
Selain itu, untuk PLT Sampah dan PLT Panas Bumi, berlaku
harga pembelian tenaga listrik 100% BPP Pembangkitan setempat, jika BPP
Pembangkitan setempat lebih dari rata-rata BPP Pembangkitan Nasional. Sementara
untuk harga pembelian tenaga listrik berdasarkan kesepakatan berlaku jika BPP
Pembangkitan berada di wilayah Sumatera, Jawa, Bali atau wilayah yang BPP setempat
kurang dari atau sama dengan BPP Pembangkitan Nasional.
Semangat dari Permen tersebut adalah penyediaan listrik
dari EBT dengan biaya penyediaan seefisien mungkin agar tidak membebani subsidi
energi dalam APBN, dan masyarakat bisa mendapatkan tarif listrik yang lebih
baik. "Bapak Presiden selalu menginginkan efisiensi dalam harga energi
untuk rakyat. Pemerintah akan terus mencari upaya terobosan untuk penyediaan
dan pemanfaatan EBT yang efisien. Daya beli masyarakat terhadap listrik harus
terjangkau. Itu yang paling penting," ungkap Menteri Jonan.
Permen ini terus didorong mengingat Indonesia memiliki
potensi EBT cukup besar yaitu lebih dari 400 GW. Dari potensi tersebut, baru
dimanfaatkan sekitar 2%. Untuk mengoptimalkan pengembangan EBT, Pemerintah menetapkan
sasaran EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada tahun 2025.
Dengan target tersebut artinya, kapasitas penyediaan
pembangkit listrik EBT tahun 2025 adalah sebesar 45 Giga Watt (GW). Kapasitas
pembangkit tersebut antara lain terdiri dari PLT Panas Bumi sebesar 7,2 GW; PLT
Air sebesar 18 GW; PLT Minihidro dan Mikrohidro sebesar 3 GW; PLT Bioenergi
sebesar 5,5 GW; PLT Surya sebesar 6,5 GW; PLT Angin sebesar 1,8 GW: dan untuk PLT
Energi Terbarukan lainnya sekitar 3,1 GW.
Sebelumnya Menteri ESDM telah mengeluarkan Permen ESDM
Nomor 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum
Berkembang, Terpencil, Perbatasan, dan Pulau Kecil Berpenduduk Melalui
Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Skala Kecil. Kebijakan ini
dalam rangka mewujudkan Indonesia terang dan energi berkeadilan dengan EBT.
Targetnya 2.510 desa terlistriki sampai tahun 2019 dengan kapasitas hingga 50
MW.
Selain melalui dua kebijakan di atas, langkah nyata yang
sudah dilakukan Kementerian ESDM sebagai solusi cepat menghadirkan listrik bagi
masyarakat daerah terpencil adalah melalui program pembagian Lampu Tenaga Surya
Hemat Energi (LTSHE). Program ini memiliki target menerangi desa-desa belum
berlistriki utamanya desa yang masih gelap gulita dalam jangka waktu 2 tahun
yaitu mulai tahun 2017 sampai 2019. Program LTSHE pada Tahun 2017 dipasang di 6
Provinsi ter-Timur Indonesia dan melistriki 95.729 rumah. Sedangkan pada tahun
2018 dipasang di 15 Provinsi yang dapat melistriki 255.250 rumah. Menteri ESDM
menjelaskan bahwa LHTSE ini dapat menyala sampai 60 jam. "Satu paket
termasuk empat lampu, baterai, panel surya, jadi sudah lengkap. Lampu ini apabila
menyala full bisa untuk 6 jam, kalau redup 12 jam sampai dengan 60 jam "
jelas Menteri Jonan.
(Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama, KESDM dan Tim Komunikasi Pemerintah
Kemkominfo)
0 comments:
Post a Comment